Diriwayatkan dari Syekh Abul Hasan Ibrahim bin Ismail al-Wasithi dan Syarif Abul Abbas Ahmad bin Muhammad al-Azhary dengan sanadnya yang bersambung. Bahwasanya Syekh Muhyiddin Abdul Qadir al-Jailani berkisah sambil duduk di atas kursi. "Selama dua puluh lima tahun, aku mengembara di daratan serta lembah Irak sendirian dan selama empat tahun aku shalat dengan menggunakan wudhu shalat Isya. Selama lima belas tahun, aku juga shalat dengan bertumpu pada satu kaki dengan mengkhatamkan Al-Qur’an, sedangkan tanganku kuletakkan disebuah paku yang tertancap di dinding karena takut ngantuk. Hingga aku mengkhatamkan Al-Qur’an saat menjelang sahur.
Pada saat malam, aku keluar menuju tangga. Maka, berkatalah nafsu yang ada dalam diriku, andai saja aku dapat tidur sejenak. Maka, aku menghentikan godaan ini dan aku pun berdiri dengan satu kaki. Kemudian, aku membaca Al-Qur’an hingga sampai akhirnya dengan keadaan yang demikian. Aku juga pernah berdiam diri terkadang tiga hari, bahkan sampai empat puluh hari tanpa ada makanan. Dan, jika rasa kantuk datang menyerangku, akupun membentaknya dan kantuk tersebut pergi. Juga, pernah didatangkan kepadaku berbagai kesenangan dunia dan keindahannya dalam bentuk baik dan buruknya, aku pun membentaknya hingga lari terbirit-birit. '
Aku juga pernah berdiam diri di menara, yang sekarang ini disebut menara al-Ujma, selama sebelas tahun. Saking lamanya aku berdiam diri di menara tersebut hingga pernah aku tidak makan selama empat puluh hari. Hingga sampailah aku pada suatu hari, datanglah seorang laki-laki yang membawa roti dan meletakkannya di hadapanku kemudian pergi lagi entah kemana. Hampir saja nafsuku menyantap makanan tersebut karena saking lapamya. Maka ditengah pergulatan hati tersebut aku bertekad, ‘Demi Allah, aku tidak akan melepaskan janji Allah yang telah aku ikat.’ Hingga terdengarlah suara dari dalam perutku karena sangat lapar namun aku tidak memperdulikannya”
Syekh Abu Sa’id al-Makhrami yang sedang melintas di daerah tersebut mendengar jeritan perutku, maka masuklah ia untuk menemuiku.
"Ada apa ini, wahai Abdullah [atau] Abdul Qadir?"
"Ini semua karena godaan nafsu. Adapun ruhnya tetap tenang bersama Tuhan-Nya."
"Ayo, keluarlah dari pintu bangunan ini!"
Kemudian, ia meninggalkanku dengan keadaan tetap seperti semula. Namun, aku telah berjanji dalam diriku bahwa aku tidak akan keluar dari tempat ini. Lalu, datanglah Syekh Abul Abbas Al-Khidir kepadaku.
"Berdiri dan pergilah ke tempat Abu Sa’id," peerintahnya.
Maka, akupun rnendatangi Abul Abbas, dan dia sudah kelihatan menunggu di depan pintu untuk menyambutku.
"Wahai Abdul Qadir, apa masih belum cukup jelas juga perkataanku tadi hingga aku memerintahkan al-Khidir untuk mengatakan apa yang aku perintahkan?"
Aku pun memasuki rumahnya. Di dalamnya, sudah tersaji makanan yang menggugah selera. Akhirnya, beliau duduk dan menyuapiku hingga aku kenyang, lalu memakaikan aku selendang dengan tangannya sendiri. Dan akupun berkhidmat kepadanya.
Sebelumnya, aku pernah juga didatangi seorang laki-laki yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
"Apakah engkau mau ber-suhbat?" tanyanya
"Ya," sahutku.
"Dengan syarat, jangan sekali-kali menentangku” peringatnya;
"Duduklah di sini hingga aku datang kepadamu lagi.!"
Kemudian, laki-laki itu menghilang selama setahun dan kembali kepadaku lagi.
"Jangan pernah bergeser dari tempat dudukmu," katanya lagi.
Kemudian, ia pergi lagi selama setahun. Dan ia datang lagi kepadaku. Setelah ia duduk di depanku sesaat.
"Jangan bergerak dari tempat dudukmu hingga aku datang kembali," perintahnya kepadaku.
Lantas, pada tahun berikutnya ia datang dengan membawa roti dan susu.
"Akulah al-Khidir. Aku diperintahkan makan bersamamu," kata laki-laki itu.
Maka, kami pun makan bersama-sama. Setelah itu, laki-laki itu berkata lagi, "Bangkitlah, mari kita pergi ke Baghdad bersama-sama."
Dalam kisah tersebut ada orang yang bertanya, "Dari manakah Tuan mencukupi kebutuhan selama tahun-tahun penantian tersebut?"
"Aku mendapatkan dari sisa-sisa makanan orang-orang yang lewat," jawab Syekh Abdul Qadir."
Dikutip dari buku “Biografi Syekh Abdul Qadir al-Jailani” karya
Achmad Sunarto
No comments:
Post a Comment